Senin, 29 Juli 2013

Kebudayaan Madura

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya dipandang layak dan dapat diterima.
Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyrakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat.
Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.
Dari definisi diatas masyarakat Madura memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di luar Pulau Madura), meskipun Madura masih berada di wilayah Indonesia tapi karena factor letak membuat kebudayaan-kebudayaan di Indonesia berbeda-beda, dari satu daerah-ke daerah lain pasti memiliki perbedaan kebudayaan.
Untuk kebudayaan masyarakat Madura sendir berbeda dengan kebudayaan masyarakat lainnya, termasuk dengan kebudayaan Jawa Timur (Surabaya, Malang dll) meskipun Madura masih satu provinsi dengan mereka. Masyarakat Madura memiliki corak, karakter dan sifat yang berbeda dengan masyarakat Jawa. Masyarakatnya yang santun, membuat masyarakat Madura disegani, dihormati bahkan “ditakuti” oleh masyarakat yang lain.
Kebaikan yang diperoleh oleh masyarakat atau orang Madura akan dibalas dengan serupa atau lebih baik. Namun, jika dia disakiti atau diinjak harga dirinya, tidak menutp kemungkinan mereka akan membalas dengan yang lebih kejam. Banyak orang yang berpendapat bahwa masyarakat Madura itu unik, estetis dan agamis. Dapat dibuktikan dengan banyaknya masjid-masjid megah berdiri di Madura dan tidak hanya itu saja, kebanyakan masyarakat Madura termasuk penganut agama Islam yang tekun, ditambah lagi mereka juga berusaha menyisihkan uangnya untuk naik haji. Dari hal tersebut tidak salah kalau masyarakat Madura juda dikenal sebagai masyarakat santri yang sopan tutur katanya dan kepribadiannya.
Masyarakat Madura masih mempercayai dengankekuatan magis, dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat Madura. Slah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang berbau magis tersebut adalah terhadab bendah pusaka yang berupa keris atau jenis tosan aji dan ada kalanya melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).
Untuk bahasa masyarakat Madura memiliki bahasa daerahnya sendiri yang mayoritas digunakan oleh masyarkat asli Madura. Bahasa Madura hamper mirip dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, karena bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa sebgai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas Pulau Madura pada masa lampau.
Bahasa Madura mempunyai system pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalannya. Bahasa Madura sebagaimana bahasa-bahasa di kawasan Jawa dan Bali juga mengenal Tingkatan-tingkatan, namun agak berbeda karena hanya terbagi atas tingkat yakni :
  • Ja’ – iya (sama dengan ngoko)
  • Engghi-Enthen (sama dengan Madya)
  • Engghi-Bunthen (sama dengan Krama)
Bahasa Madura juga mempunyai dialek-dialek yang tersebar di seluruh wilayah Madura. Di Pulau Madura sendiri pada galibnya terdapat beberapa dialek seperti dialek Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Kangean. Dialeg yang dijadikan acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep di masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura.


Untuk kesenian sendiri Madura memiliki beberapa kesenian tradisional seperti karapan sapi, topeng, keris, batik, celuret, kleles dan tuk-tuk. Karapan sapi adalah perlombaan pacuan sapi yang sudah berlangsung sejak dulu. Karapan sapi juga dapat menaikkan setatus social pemilik sapi bila sapi miliknya bisa juara dalam perlombaan tersebut.
Karapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Para pemusik seronen ini bertugas sebagai alat penyemangat anggota kontingen bersrta sapi-sapinya sebelum karapan dimulai.
Topeng Madura biasanya digunakan untuk pentas kesenian topeng dalang, yaitu kesenian topeng yang dalam memerankan suatu cerita, penarinya tidak berbicara, dialog dilakukan oleh dalangnya cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana dan Mahabarata.


Batik Madura adalah sebuah kerajinan tangan yang berasal dari Pulau Madura, yang pusat pembuatan batik tersebut berada di daerah Bangkalan yang merupakan ujung Barat Madura, sampai di pasar Sumenep. Batik Madura seakan identik dengan satu tempat istimewa, yaitu Tanjung Bumi, yang berada di Bangkalan Utara, diluar jalur utama lintas Madura yaitu berada di sisi selatan pulau Madura.
Keris juga merupakan sebuah kerajinan tradisional dari Madura meskipun tidak begitu diketahui sejak kapan keris sudah menjadi senjata tradisional masyarakat Madura. Tempat kerajinan keris sekarang berada di Kabupaten Sumenep di desa Aeng Tongtong, kecamatan Saronggi. Keris sekarang dan keris pada masa lalu berbeda, bila keris sekarang digunakan hanya untuk meningkatkan/menaikkan pamor seseorang dan keris pada masa lalu digunakan sebagai alat berperang.
Celurit juga termasuk alat tradisional milik masyrakat Madura, terutama para rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di pulau Madura. Celurit dibuat di desa Peterongan, kecamatan Galis, kabupaten Bangkalan. Disana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit dan keahlian mereka adalah warisan sejak ratusan tahun lampau.
Kleles  adalah alat yang dipakai untuk pasangan sapi yang dikerap agar keduanya dapat lari seirama, sedangkan pada bagian buritan adalah tempat duduk joki, yang akan mengendalikan arah dan larinya sapi. Tuk-tuk sebagai instrument pengiring pada saat kerap sedang dibawa keliling maupun pada saat sedang berlangsung perlombaan kerapan sapi.
Cara hidup masyarakat Madura ada berbagai macam seperti ada masyarakat Madura yang merantau kedaerah-daerah lain yang bertujuan agar dapat menaikkan derajat mereka, ada pula yang masih di daerahnya untuk melakukan ternak sapi, bila yang tinggal didaerah pesisir mereka bekerja sebagai nelayan dan pembuat garam tradisional, ada pula yang membuat usaha di rumah seperti usaha batik tulis Madura, kerajinan celurit dan keris.

Pakaian adat masyarakat Madura untuk pria sangat identik dengan motif garis horizontal yang biasanya berwarna merah-putih dan memakai ikat kepala. Lebih terlihat gagah lagi bila mereka membawa senjata tradisional yang berupa clurit. Dan untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan kain batik khas Madura dan mengenakan kebaya yang lebih simple.


Untuk rumahnya sendiri, masyarakat Madura kebanyakan rumahnya hamper mirip rumah Jawa (Joglo), karena bila dilihat dari sejarahnya Jawa masih ada benang merah dengan Madura maka ada akulturasi kebudayaan, antara budaya Jawa dengan budaya Madura.
Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa Madura memiliki kebudayaan yang komplek dan menakjubkan. Tinggal kita, sebagai generasi muda apakah dapat melestarikan kebudayaan-kebudayaan peninggalan nenek moyang kita atau kebudayaan itu akan hilang dengan sendirinya dan anak cucu kita nantinya tidak akan dapat mengetahui dan menikmati kebudayaan peninggalan nenek moyang mereka.

Kebudayaan di Medan (Sumatera Utara)

Awalnya, sewaktu Indonesia masih dijajah Belanda, Sumatera Utara dikenal dengan nama Gouverment Van Sumatera yang meliputi seluruh seluruh bagian pulau Sumatera dan dikepalai oleh seorang Gubernur yang berkedudukan di Medan. Pada tanggal 15 April 1948 pemerintah menetapkan undang-undang No 10 Tahun 1948 tentang penetapan provinsi di sumatera. Tanggal 15 April kemudian menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara.
Awal tahun 1949 diadakan reorganisasi pemerintahan di Sumatera. Dengan keputusan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Mei 1949 Nomor 22/Pem/PDRI jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan, selanjutnya dengan ketetapan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Desember 1949 dibentuk Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli atau Sumatera Timur yang kemudian dikenal dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950, ketetapan ini dicabut dan kembali dibentuk Provinsi Sumatera Utara.

Di Provinsi Sumatera Utara bayak terdapat suku bangsa. Ada Batak, Nias, dan Melayu. Namun, suku Batak merupakan etnis mayoritas. Semua dapat hidup dengan berdampingan. Kehidupan masyarakat di Kota Medan kebanyakan berdagang, baik dari suku Batak maupun suku lainnya. Susunan masyarakat Sumatera Utara adalah berdasarkan geneologis teritorial seperti Batak Toba, Mandailing dan Nias. Sedangkan suku Melayu berdasarkan teritorial. Bila ditinjau dari garis keturunan maka suku Batak dan Nias adalah patrilinial, sedang suku Melayu adalah parental (keturunan kedua belah pihak bapak dan ibu). 


Makanan Khas Sumatera Utara 

Arsik

Arsik adalah salah satu masakan khas kawasan Tapanuli yang populer. Masakan ini dikenal pula sebagai ikan mas bumbu kuning. Ikan mas adalah bahan utama, yang dalam penyiapannya tidak dibuang sisiknya.
Bumbu arsik sangat khas, mengandung beberapa komponen yang khas dari wilayah pegunungan Sumatera Utara, seperti andaliman dan asam cikala (buah kecombrang), selain bumbu khas Nusantara yang umum, seperti lengkuas dan serai. Bumbu-bumbu yang dihaluskan dilumuri pada tubuh ikan beberapa saat. Ikan kemudian dimasak dengan sedikit minyak dan api kecil hingga agak mengering.
 
Saksang
 
Saksang adalah masakan khas dari tanah Batak yang terbuat dari daging babi (atau daging anjing) yang dicincang dan dimasak dengan menggunakan darah,santan dan rempah-rempah (termasuk jeruk purut dan daun salam, ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabai, merica, serai, jahe, lengkuas, kunyit dan andaliman). Saksang menjadi makanan wajib dalam adat pernikahan Batak.Dalam etnis tionghua,sering dikenal dengan sebutan Angbak dan Chasiobak.Angbak meggunakan cairan berwarna merah yang manis sehingga membuat makanan ini cukup terkenal sedagkan Chasiobak digoreng hingga kering sehingga menimbulkan kesan garing.
 
Tarian Khas Sumatera Utara 
Tari Tor-Tor
 

Tarian Tor-tor khas suku Batak, Sumatera Utara. Tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, dan terompet batak.

Tari tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.

Wisata Alam Favorit Sumatera Utara
 
Danau Toba


Bukit Lawang


Pulau Samosir

TORAJA CULTURE (Toraja)

Culture and Ancient tradition


Toraja's indigenous belief system is polytheistic animism, called Aluk, or "the way" (sometimes translated as "the law"). In the Toraja myth, the ancestors of Torajan people came down from heaven using stairs, which were then used by the Torajans as a communication medium with Puang Matua, the Creator. The cosmos, according to Aluk, is divided into the upper world (heaven), the world of man (earth), and the underworld. At first, heaven and earth were married, then there was a darkness, a separation, and finally the light. Animals live in the underworld, which is represented by rectangular space enclosed by pillars, the earth is for mankind, and the heaven world is located above, covered with a saddle-shaped roof. Other Toraja Gods include Pong Banggai di Rante (god of Earth), Indo' Ongon-Ongon (a goddess who can cause earthquakes), Pong Lalondong (god of death), and Indo' Belo Tumbang (goddess of medicine); there are many more.

The earthly authority, whose words and actions should be cleaved to both in life (agriculture) and death (funerals), is called To Minaa (an aluk priest). Aluk is not just a belief system; it is a combination of law, religion, and habit. Aluk governs social life, agricultural practices, and ancestral rituals. The details of aluk may vary from one village to another. One common law is the requirement that death and life rituals be separated. Torajans believe that performing death rituals might ruin their corpses if combined with life rituals. The two rituals are equally important. During the time of the Dutch missionaries, Christian Torajans were prohibited from attending or performing life rituals, but were allowed to perform death rituals. Consequently, Toraja's death rituals are still practiced today, while life rituals have diminished.

Toraja people enjoy great longevity-surely something to do with the cool climate and active lifestyle from infancy to old age. They spend their lives growing excellent fragrant rice, raising magnificent buffalo, especially the highly valued pink albino strains. Their work is interspersed with dramatic ceremonies. Harvest festivals and house warming festivals, are times for feasting and a gathering of the clan, times to wear their best costumes and jewellery, bring out the tuak (a local brew) and party for days on end, times for singing and dancing and, of course, eating. These are also times for neighbours and clan members to pay their respects and to pay back obligations that may date back generations.

Family affiliation

Family is the primary social and political grouping in Torajan society. Each village is one extended family, the seat of which is the Tongkonan, a traditional Torajan house. Each Tongkonan has a name, which becomes the name of the village. The familial dons maintain village unity. Marriage between distant cousins (fourth cousins and beyond) is a common practice that strengthens kinship. Toraja society prohibits marriage between close cousins (up to and including the third cousin)-except for nobles, to prevent the dispersal of property. Kinship is actively reciprocal, meaning that the extended family helps each other farm, share buffalo rituals, and pay off debts.

Each person belongs to both the mother's and the father's families, the only bilateral family line in Indonesia. Children, therefore, inherit household affiliation from both mother and father, including land and even family debts. Children's names are given on the basis of kinship, and are usually chosen after dead relatives. Names of aunts, uncles and cousins are commonly referred to in the names of mothers, fathers and siblings.

Before the start of the formal administration of Toraja villages by the Tana Toraja Regency, each Toraja village was autonomous. In a more complex situation, in which one Toraja family could not handle their problems alone, several villages formed a group; sometimes, villages would unite against other villages. Relationship between families was expressed through blood, marriage, and shared ancestral houses (Tongkonan), practically signed by the exchange of buffalo and pigs on ritual occasions. Such exchanges not only built political and cultural ties between families but defined each person's place in a social hierarchy: who poured palm wine, who wrapped a corpse and prepared offerings, where each person could or could not sit, what dishes should be used or avoided, and even what piece of meat constituted one's share.

Class affiliation
In early Toraja society, family relationships were tied closely to social class. The structure of the caste of Torajan people according to Aluk are:

  1. Tana Bulaan (Tana = caste, Bulaan = gold) Nobles never marry lower class people. Moreover, if someone divorces his/her spouse, then he/she has to pay 24 buffaloes to the divorced his/her spouse.
  2.  Tana Bassi(Tana = caste, Bassi = iron) Lower than Tana Bulaan. A person has to pay 10 buffaloes to his/her divorced spouse.
  3. Tana Karurung (common people) a person has to pay 2 buffaloes to his/her divorced spouse.
  4. Tana Kuakua (slaves) there are still some people in certain areas having slaves to take care of their rice farm. The slaves are paid and given adequate food. In the past, slaves were not paid.

In general there were three strata: nobles, commoners, and slaves (slavery was abolished in 1909 by the Dutch East Indies government). Class was inherited through the mother. It was taboo, therefore, to marry "down" with a woman of lower class. On the other hand, marrying a woman of higher class could improve the status of the next generation. The nobility's condescending attitude toward the commoners is still maintained today for reasons of family prestige.

Nobles, who were believed to be direct descendants of the descended person from heaven, lived in Tongkonans, while commoners lived in less lavish houses (bamboo shacks called Banua). Slaves lived in small huts, which had to be built around their owner's Tongkonan. Commoners might marry anyone, but nobles preferred to marry in-family to maintain their status. Sometimes nobles married Bugis or Makassarese nobles. Commoners and slaves were prohibited from having death feasts. Despite close kinship and status inheritance, there was some social mobility, as marriage or change in wealth could affect an individuals status. Wealth was counted by the ownership of water buffaloes.

Slaves in Toraja society were family property. Sometimes Torajans decided to become slaves when they incurred a debt, pledging to work as payment. Slaves could be taken during wars, and slave trading was common. Slaves could buy their freedom, but their children still inherited slave status. Slaves were prohibited from wearing bronze or gold, carving their houses, eating from the same dishes as their owners, or having sex with free women-a crime punishable by death.

Dance and music
Torajans perform dances on several occasions, most often during their elaborate funeral ceremonies. They dance to express their grief, and to honor and even cheer the deceased person because he is going to have a long journey in the afterlife. First, a group of men form a circle and sing a monotonous chant throughout the night to honor the deceased (a ritual called Ma'badong). This is considered by many Torajans to be the most important component of the funeral ceremony. On the second funeral day, the Ma'randing warrior dance is performed to praise the courage of the deceased during life. Several men perform the dance with a sword, a large shield made from buffalo skin, a helmet with a buffalo horn, and other ornamentation. The Ma'randing dance precedes a procession in which the deceased is carried from a rice barn to the Rante, the site of the funeral ceremony. During the funeral, elder women perform the Ma'katia dance while singing a poetic song and wearing a long feathered costume. The Ma'akatia dance is performed to remind the audience of the generosity and loyalty of the deceased person. After the bloody ceremony of buffalo and pig slaughter, a group of boys and girls clap their hands while performing a cheerful dance called Ma'dondan.
As in other agricultural societies, Torajans dance and sing during harvest time. The Ma'bugi dance celebrates the thanksgiving event, and the Ma'gandangi dance is performed while Torajans are pounding rice. There are several war dances, such as the Manimbong dance performed by men, followed by the Ma'dandan dance performed by women. The Aluk religion governs when and how Torajans dance. A dance called Ma'bua can be performed only once every 12 years. Ma'bua is a major Toraja ceremony in which priests wear a buffalo head and dance around a sacred tree.

A traditional musical instrument of the Toraja is a bamboo flute called a Pa'suling (suling is an Indonesian word for flute). This six-holed flute (not unique to the Toraja) is played at many dances, such as the thanksgiving dance Ma'bondensan, where the flute accompanies a group of shirtless, dancing men with long fingernails. The Toraja have indigenous musical instruments, such as the Pa'pelle (made from palm leaves) and the Pa'karombi (the Torajan version of a Jew's harp). The Pa'pelle is played during harvest time and at house inauguration ceremonies.

Language
The ethnic Toraja language is dominant in Tana Toraja with the main language is the Sa'dan Toraja. Although the national Indonesian language is the official language and is spoken in the community, all elementary schools in Tana Toraja teach Toraja language.

Language varieties of Toraja, including Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , and Toraja-Sa'dan, belong to the Malayo-Polynesian language from the Austronesian family. At the outset, the isolated geographical nature of Tana Toraja formed many dialects between the Toraja languages themselves. After the formal administration of Tana Toraja, some Toraja dialects have been influenced by other languages through the transmigration program, introduced since the colonialism period, and it has been a major factor in the linguistic variety of Toraja languages.

A prominent attribute of Toraja language is the notion of grief. The importance of death ceremony in Toraja culture has characterized their languages to express intricate degrees of grief and mourning. The Toraja language contains many terms referring sadness, longing, depression, and mental pain. It is a catharsis to give a clear notion about psychological and physical effect of loss, and sometimes to lessen the pain of grief itself.