Senin, 29 Juli 2013

Kebudayaan Madura

Kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan oleh para anggotanya, melahirkan perilaku yang oleh para anggotanya dipandang layak dan dapat diterima.
Kebudayaan terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyrakat, dan apabila orang berbuat sesuai dengan itu, maka perilaku mereka dianggap dapat diterima di dalam masyarakat.
Kebudayaan dipelajari melalui sarana bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan unsur-unsur kebudayaan berfungsi sebagai suatu keseluruhan yang terpadu.
Dari definisi diatas masyarakat Madura memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat-masyarakat pada umumnya (masyarakat di luar Pulau Madura), meskipun Madura masih berada di wilayah Indonesia tapi karena factor letak membuat kebudayaan-kebudayaan di Indonesia berbeda-beda, dari satu daerah-ke daerah lain pasti memiliki perbedaan kebudayaan.
Untuk kebudayaan masyarakat Madura sendir berbeda dengan kebudayaan masyarakat lainnya, termasuk dengan kebudayaan Jawa Timur (Surabaya, Malang dll) meskipun Madura masih satu provinsi dengan mereka. Masyarakat Madura memiliki corak, karakter dan sifat yang berbeda dengan masyarakat Jawa. Masyarakatnya yang santun, membuat masyarakat Madura disegani, dihormati bahkan “ditakuti” oleh masyarakat yang lain.
Kebaikan yang diperoleh oleh masyarakat atau orang Madura akan dibalas dengan serupa atau lebih baik. Namun, jika dia disakiti atau diinjak harga dirinya, tidak menutp kemungkinan mereka akan membalas dengan yang lebih kejam. Banyak orang yang berpendapat bahwa masyarakat Madura itu unik, estetis dan agamis. Dapat dibuktikan dengan banyaknya masjid-masjid megah berdiri di Madura dan tidak hanya itu saja, kebanyakan masyarakat Madura termasuk penganut agama Islam yang tekun, ditambah lagi mereka juga berusaha menyisihkan uangnya untuk naik haji. Dari hal tersebut tidak salah kalau masyarakat Madura juda dikenal sebagai masyarakat santri yang sopan tutur katanya dan kepribadiannya.
Masyarakat Madura masih mempercayai dengankekuatan magis, dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat Madura. Slah satu bentuk kepercayaan terhadap hal yang berbau magis tersebut adalah terhadab bendah pusaka yang berupa keris atau jenis tosan aji dan ada kalanya melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).
Untuk bahasa masyarakat Madura memiliki bahasa daerahnya sendiri yang mayoritas digunakan oleh masyarkat asli Madura. Bahasa Madura hamper mirip dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, karena bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa dan lain sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk system hierarki berbahasa sebgai akibat pendudukan Kerajaan Mataram atas Pulau Madura pada masa lampau.
Bahasa Madura mempunyai system pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang berusaha mempelajarinyapun mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalannya. Bahasa Madura sebagaimana bahasa-bahasa di kawasan Jawa dan Bali juga mengenal Tingkatan-tingkatan, namun agak berbeda karena hanya terbagi atas tingkat yakni :
  • Ja’ – iya (sama dengan ngoko)
  • Engghi-Enthen (sama dengan Madya)
  • Engghi-Bunthen (sama dengan Krama)
Bahasa Madura juga mempunyai dialek-dialek yang tersebar di seluruh wilayah Madura. Di Pulau Madura sendiri pada galibnya terdapat beberapa dialek seperti dialek Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Kangean. Dialeg yang dijadikan acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep di masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura.


Untuk kesenian sendiri Madura memiliki beberapa kesenian tradisional seperti karapan sapi, topeng, keris, batik, celuret, kleles dan tuk-tuk. Karapan sapi adalah perlombaan pacuan sapi yang sudah berlangsung sejak dulu. Karapan sapi juga dapat menaikkan setatus social pemilik sapi bila sapi miliknya bisa juara dalam perlombaan tersebut.
Karapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Para pemusik seronen ini bertugas sebagai alat penyemangat anggota kontingen bersrta sapi-sapinya sebelum karapan dimulai.
Topeng Madura biasanya digunakan untuk pentas kesenian topeng dalang, yaitu kesenian topeng yang dalam memerankan suatu cerita, penarinya tidak berbicara, dialog dilakukan oleh dalangnya cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana dan Mahabarata.


Batik Madura adalah sebuah kerajinan tangan yang berasal dari Pulau Madura, yang pusat pembuatan batik tersebut berada di daerah Bangkalan yang merupakan ujung Barat Madura, sampai di pasar Sumenep. Batik Madura seakan identik dengan satu tempat istimewa, yaitu Tanjung Bumi, yang berada di Bangkalan Utara, diluar jalur utama lintas Madura yaitu berada di sisi selatan pulau Madura.
Keris juga merupakan sebuah kerajinan tradisional dari Madura meskipun tidak begitu diketahui sejak kapan keris sudah menjadi senjata tradisional masyarakat Madura. Tempat kerajinan keris sekarang berada di Kabupaten Sumenep di desa Aeng Tongtong, kecamatan Saronggi. Keris sekarang dan keris pada masa lalu berbeda, bila keris sekarang digunakan hanya untuk meningkatkan/menaikkan pamor seseorang dan keris pada masa lalu digunakan sebagai alat berperang.
Celurit juga termasuk alat tradisional milik masyrakat Madura, terutama para rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di pulau Madura. Celurit dibuat di desa Peterongan, kecamatan Galis, kabupaten Bangkalan. Disana sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit dan keahlian mereka adalah warisan sejak ratusan tahun lampau.
Kleles  adalah alat yang dipakai untuk pasangan sapi yang dikerap agar keduanya dapat lari seirama, sedangkan pada bagian buritan adalah tempat duduk joki, yang akan mengendalikan arah dan larinya sapi. Tuk-tuk sebagai instrument pengiring pada saat kerap sedang dibawa keliling maupun pada saat sedang berlangsung perlombaan kerapan sapi.
Cara hidup masyarakat Madura ada berbagai macam seperti ada masyarakat Madura yang merantau kedaerah-daerah lain yang bertujuan agar dapat menaikkan derajat mereka, ada pula yang masih di daerahnya untuk melakukan ternak sapi, bila yang tinggal didaerah pesisir mereka bekerja sebagai nelayan dan pembuat garam tradisional, ada pula yang membuat usaha di rumah seperti usaha batik tulis Madura, kerajinan celurit dan keris.

Pakaian adat masyarakat Madura untuk pria sangat identik dengan motif garis horizontal yang biasanya berwarna merah-putih dan memakai ikat kepala. Lebih terlihat gagah lagi bila mereka membawa senjata tradisional yang berupa clurit. Dan untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan kain batik khas Madura dan mengenakan kebaya yang lebih simple.


Untuk rumahnya sendiri, masyarakat Madura kebanyakan rumahnya hamper mirip rumah Jawa (Joglo), karena bila dilihat dari sejarahnya Jawa masih ada benang merah dengan Madura maka ada akulturasi kebudayaan, antara budaya Jawa dengan budaya Madura.
Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa Madura memiliki kebudayaan yang komplek dan menakjubkan. Tinggal kita, sebagai generasi muda apakah dapat melestarikan kebudayaan-kebudayaan peninggalan nenek moyang kita atau kebudayaan itu akan hilang dengan sendirinya dan anak cucu kita nantinya tidak akan dapat mengetahui dan menikmati kebudayaan peninggalan nenek moyang mereka.

Kebudayaan di Medan (Sumatera Utara)

Awalnya, sewaktu Indonesia masih dijajah Belanda, Sumatera Utara dikenal dengan nama Gouverment Van Sumatera yang meliputi seluruh seluruh bagian pulau Sumatera dan dikepalai oleh seorang Gubernur yang berkedudukan di Medan. Pada tanggal 15 April 1948 pemerintah menetapkan undang-undang No 10 Tahun 1948 tentang penetapan provinsi di sumatera. Tanggal 15 April kemudian menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara.
Awal tahun 1949 diadakan reorganisasi pemerintahan di Sumatera. Dengan keputusan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Mei 1949 Nomor 22/Pem/PDRI jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan, selanjutnya dengan ketetapan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Desember 1949 dibentuk Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli atau Sumatera Timur yang kemudian dikenal dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950, ketetapan ini dicabut dan kembali dibentuk Provinsi Sumatera Utara.

Di Provinsi Sumatera Utara bayak terdapat suku bangsa. Ada Batak, Nias, dan Melayu. Namun, suku Batak merupakan etnis mayoritas. Semua dapat hidup dengan berdampingan. Kehidupan masyarakat di Kota Medan kebanyakan berdagang, baik dari suku Batak maupun suku lainnya. Susunan masyarakat Sumatera Utara adalah berdasarkan geneologis teritorial seperti Batak Toba, Mandailing dan Nias. Sedangkan suku Melayu berdasarkan teritorial. Bila ditinjau dari garis keturunan maka suku Batak dan Nias adalah patrilinial, sedang suku Melayu adalah parental (keturunan kedua belah pihak bapak dan ibu). 


Makanan Khas Sumatera Utara 

Arsik

Arsik adalah salah satu masakan khas kawasan Tapanuli yang populer. Masakan ini dikenal pula sebagai ikan mas bumbu kuning. Ikan mas adalah bahan utama, yang dalam penyiapannya tidak dibuang sisiknya.
Bumbu arsik sangat khas, mengandung beberapa komponen yang khas dari wilayah pegunungan Sumatera Utara, seperti andaliman dan asam cikala (buah kecombrang), selain bumbu khas Nusantara yang umum, seperti lengkuas dan serai. Bumbu-bumbu yang dihaluskan dilumuri pada tubuh ikan beberapa saat. Ikan kemudian dimasak dengan sedikit minyak dan api kecil hingga agak mengering.
 
Saksang
 
Saksang adalah masakan khas dari tanah Batak yang terbuat dari daging babi (atau daging anjing) yang dicincang dan dimasak dengan menggunakan darah,santan dan rempah-rempah (termasuk jeruk purut dan daun salam, ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabai, merica, serai, jahe, lengkuas, kunyit dan andaliman). Saksang menjadi makanan wajib dalam adat pernikahan Batak.Dalam etnis tionghua,sering dikenal dengan sebutan Angbak dan Chasiobak.Angbak meggunakan cairan berwarna merah yang manis sehingga membuat makanan ini cukup terkenal sedagkan Chasiobak digoreng hingga kering sehingga menimbulkan kesan garing.
 
Tarian Khas Sumatera Utara 
Tari Tor-Tor
 

Tarian Tor-tor khas suku Batak, Sumatera Utara. Tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, dan terompet batak.

Tari tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.

Wisata Alam Favorit Sumatera Utara
 
Danau Toba


Bukit Lawang


Pulau Samosir

TORAJA CULTURE (Toraja)

Culture and Ancient tradition


Toraja's indigenous belief system is polytheistic animism, called Aluk, or "the way" (sometimes translated as "the law"). In the Toraja myth, the ancestors of Torajan people came down from heaven using stairs, which were then used by the Torajans as a communication medium with Puang Matua, the Creator. The cosmos, according to Aluk, is divided into the upper world (heaven), the world of man (earth), and the underworld. At first, heaven and earth were married, then there was a darkness, a separation, and finally the light. Animals live in the underworld, which is represented by rectangular space enclosed by pillars, the earth is for mankind, and the heaven world is located above, covered with a saddle-shaped roof. Other Toraja Gods include Pong Banggai di Rante (god of Earth), Indo' Ongon-Ongon (a goddess who can cause earthquakes), Pong Lalondong (god of death), and Indo' Belo Tumbang (goddess of medicine); there are many more.

The earthly authority, whose words and actions should be cleaved to both in life (agriculture) and death (funerals), is called To Minaa (an aluk priest). Aluk is not just a belief system; it is a combination of law, religion, and habit. Aluk governs social life, agricultural practices, and ancestral rituals. The details of aluk may vary from one village to another. One common law is the requirement that death and life rituals be separated. Torajans believe that performing death rituals might ruin their corpses if combined with life rituals. The two rituals are equally important. During the time of the Dutch missionaries, Christian Torajans were prohibited from attending or performing life rituals, but were allowed to perform death rituals. Consequently, Toraja's death rituals are still practiced today, while life rituals have diminished.

Toraja people enjoy great longevity-surely something to do with the cool climate and active lifestyle from infancy to old age. They spend their lives growing excellent fragrant rice, raising magnificent buffalo, especially the highly valued pink albino strains. Their work is interspersed with dramatic ceremonies. Harvest festivals and house warming festivals, are times for feasting and a gathering of the clan, times to wear their best costumes and jewellery, bring out the tuak (a local brew) and party for days on end, times for singing and dancing and, of course, eating. These are also times for neighbours and clan members to pay their respects and to pay back obligations that may date back generations.

Family affiliation

Family is the primary social and political grouping in Torajan society. Each village is one extended family, the seat of which is the Tongkonan, a traditional Torajan house. Each Tongkonan has a name, which becomes the name of the village. The familial dons maintain village unity. Marriage between distant cousins (fourth cousins and beyond) is a common practice that strengthens kinship. Toraja society prohibits marriage between close cousins (up to and including the third cousin)-except for nobles, to prevent the dispersal of property. Kinship is actively reciprocal, meaning that the extended family helps each other farm, share buffalo rituals, and pay off debts.

Each person belongs to both the mother's and the father's families, the only bilateral family line in Indonesia. Children, therefore, inherit household affiliation from both mother and father, including land and even family debts. Children's names are given on the basis of kinship, and are usually chosen after dead relatives. Names of aunts, uncles and cousins are commonly referred to in the names of mothers, fathers and siblings.

Before the start of the formal administration of Toraja villages by the Tana Toraja Regency, each Toraja village was autonomous. In a more complex situation, in which one Toraja family could not handle their problems alone, several villages formed a group; sometimes, villages would unite against other villages. Relationship between families was expressed through blood, marriage, and shared ancestral houses (Tongkonan), practically signed by the exchange of buffalo and pigs on ritual occasions. Such exchanges not only built political and cultural ties between families but defined each person's place in a social hierarchy: who poured palm wine, who wrapped a corpse and prepared offerings, where each person could or could not sit, what dishes should be used or avoided, and even what piece of meat constituted one's share.

Class affiliation
In early Toraja society, family relationships were tied closely to social class. The structure of the caste of Torajan people according to Aluk are:

  1. Tana Bulaan (Tana = caste, Bulaan = gold) Nobles never marry lower class people. Moreover, if someone divorces his/her spouse, then he/she has to pay 24 buffaloes to the divorced his/her spouse.
  2.  Tana Bassi(Tana = caste, Bassi = iron) Lower than Tana Bulaan. A person has to pay 10 buffaloes to his/her divorced spouse.
  3. Tana Karurung (common people) a person has to pay 2 buffaloes to his/her divorced spouse.
  4. Tana Kuakua (slaves) there are still some people in certain areas having slaves to take care of their rice farm. The slaves are paid and given adequate food. In the past, slaves were not paid.

In general there were three strata: nobles, commoners, and slaves (slavery was abolished in 1909 by the Dutch East Indies government). Class was inherited through the mother. It was taboo, therefore, to marry "down" with a woman of lower class. On the other hand, marrying a woman of higher class could improve the status of the next generation. The nobility's condescending attitude toward the commoners is still maintained today for reasons of family prestige.

Nobles, who were believed to be direct descendants of the descended person from heaven, lived in Tongkonans, while commoners lived in less lavish houses (bamboo shacks called Banua). Slaves lived in small huts, which had to be built around their owner's Tongkonan. Commoners might marry anyone, but nobles preferred to marry in-family to maintain their status. Sometimes nobles married Bugis or Makassarese nobles. Commoners and slaves were prohibited from having death feasts. Despite close kinship and status inheritance, there was some social mobility, as marriage or change in wealth could affect an individuals status. Wealth was counted by the ownership of water buffaloes.

Slaves in Toraja society were family property. Sometimes Torajans decided to become slaves when they incurred a debt, pledging to work as payment. Slaves could be taken during wars, and slave trading was common. Slaves could buy their freedom, but their children still inherited slave status. Slaves were prohibited from wearing bronze or gold, carving their houses, eating from the same dishes as their owners, or having sex with free women-a crime punishable by death.

Dance and music
Torajans perform dances on several occasions, most often during their elaborate funeral ceremonies. They dance to express their grief, and to honor and even cheer the deceased person because he is going to have a long journey in the afterlife. First, a group of men form a circle and sing a monotonous chant throughout the night to honor the deceased (a ritual called Ma'badong). This is considered by many Torajans to be the most important component of the funeral ceremony. On the second funeral day, the Ma'randing warrior dance is performed to praise the courage of the deceased during life. Several men perform the dance with a sword, a large shield made from buffalo skin, a helmet with a buffalo horn, and other ornamentation. The Ma'randing dance precedes a procession in which the deceased is carried from a rice barn to the Rante, the site of the funeral ceremony. During the funeral, elder women perform the Ma'katia dance while singing a poetic song and wearing a long feathered costume. The Ma'akatia dance is performed to remind the audience of the generosity and loyalty of the deceased person. After the bloody ceremony of buffalo and pig slaughter, a group of boys and girls clap their hands while performing a cheerful dance called Ma'dondan.
As in other agricultural societies, Torajans dance and sing during harvest time. The Ma'bugi dance celebrates the thanksgiving event, and the Ma'gandangi dance is performed while Torajans are pounding rice. There are several war dances, such as the Manimbong dance performed by men, followed by the Ma'dandan dance performed by women. The Aluk religion governs when and how Torajans dance. A dance called Ma'bua can be performed only once every 12 years. Ma'bua is a major Toraja ceremony in which priests wear a buffalo head and dance around a sacred tree.

A traditional musical instrument of the Toraja is a bamboo flute called a Pa'suling (suling is an Indonesian word for flute). This six-holed flute (not unique to the Toraja) is played at many dances, such as the thanksgiving dance Ma'bondensan, where the flute accompanies a group of shirtless, dancing men with long fingernails. The Toraja have indigenous musical instruments, such as the Pa'pelle (made from palm leaves) and the Pa'karombi (the Torajan version of a Jew's harp). The Pa'pelle is played during harvest time and at house inauguration ceremonies.

Language
The ethnic Toraja language is dominant in Tana Toraja with the main language is the Sa'dan Toraja. Although the national Indonesian language is the official language and is spoken in the community, all elementary schools in Tana Toraja teach Toraja language.

Language varieties of Toraja, including Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , and Toraja-Sa'dan, belong to the Malayo-Polynesian language from the Austronesian family. At the outset, the isolated geographical nature of Tana Toraja formed many dialects between the Toraja languages themselves. After the formal administration of Tana Toraja, some Toraja dialects have been influenced by other languages through the transmigration program, introduced since the colonialism period, and it has been a major factor in the linguistic variety of Toraja languages.

A prominent attribute of Toraja language is the notion of grief. The importance of death ceremony in Toraja culture has characterized their languages to express intricate degrees of grief and mourning. The Toraja language contains many terms referring sadness, longing, depression, and mental pain. It is a catharsis to give a clear notion about psychological and physical effect of loss, and sometimes to lessen the pain of grief itself.

Kebudayaan Aceh

Provinsi Aceh terdiri atas sembilan suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Kabupaten Aceh Timur Bagian Timur), Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh Selatan), Aneuk Laot ,Simeulue dan Sinabang (Kabupaten Simeulue). Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing.
Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa Aceh. Di dalamnya terdapat beberapa dialek lokal, seperti Aceh Rayeuk, dialek Pidie dan dialek Aceh Utara. Sedangkan untuk Bahasa Gayo dikenal dialek Gayo Lut, Gayo Deret dan Gayo Lues.
Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Aneuk Jame, Tamiang dan Semelue. Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).
Seni tari Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.
Tari-tarian yang ada antara lain Seudati, Saman,Rampak, Rapai , dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.
Dalam bidang seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah Rencong. Pada dasarnya perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk. Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.

Kebudayaan Papua

Papua adalah sebuah provinsi yang terletak di paling timur Indonesia. Provinsi ini merupakan provinsi yang masih kental dan kaya akan kesenian dan kebudayaan yang ada di provinsi tersebut, provinsi ini memiliki berbagai suku seperti suku asmat yang mendiamin provinsi tersebut, dengan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kesenian dan kebudayaan yang ada di daerah mereka. Kesenian dan kebudayaan yang ada di daerah ini sangat menarik, dan unik. Sebagai warga negara Indonesia kita patut bangga dengan kesenian dan kebudayaan yang beraneka ragam yang terdapat di Negara Indonesia, negara tercinta. Dan kali ini saya akan mencoba membuat arikel mengenai beberapa kesenian dan kebudayaan yang ada di Papua.


Kesenian dan Kebudayaan Papua :
            Papua memiliki banyak kesenian dan kebudayaan yang ada di dalamnya, kesenian dan kebudayaan tersebut sangat unik dan menarik. Berikut beberapa kesenian dan kebudayaan yang ada di Papua :
Bahasa
Terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada di Papua. Aneka Berbagai bahasa ini menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainya. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia digunakan secara resmi oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan hingga ke pedalaman. Namun ada masyarakat yang tidak mengerti bahasa Indonesia karena minimnya pendidikan yang ada di Papua


Pakaian Tradisional

Pakaian adat Papua untuk pria dan wanita hampir sama bentuknya. Pakaian adat itu memakai hiasan-hiasan seperti hiasan kepala berupa bentuk burung cendrawasih, gelang, kalung, dan ikat pinggang dari manik-manik, serta rumbai-rumbai pada pergelangan kaki. Namun ada juga masyarakat suku pedalaman Papua yang hanya menggunakan koteka dalam membalut tubuhnya

Rumah Adat
Rumah adat Papua memiliki nama Rumah Honai, dimana bahan yang diguanakan untuk membuat rumah Honai yaitu dari kayu dengan dan atapnya berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Rumah tradisional Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak berjendela. Umumnya rumah Honai terdiri dari 2 lantai yang terdiri dari lantai pertama untuk tempat tidur sedangkan lantai kedua digunakan sebagai tempat untuk bersantai, makan, serta untuk mengerjakan kerajinan tangan.

Tari Tradisional

Papua memiliki berbagai macam tarian yang unik dan menarik, seperti tari selamat dating yang merupakan tarian khas papua yang menggambarkan kegembiraan hati para penduduk dalam menyabut para tamu terhormat yang datang ke wilayah mereka. Tari ini memiliki gerakan yang menarik, dinamik dan dilakuakan dengan semangat.

Alat Musik
Papua memiliki banyak alat musik tradisional salah satunya yaitu tifa. Tifa merupakan salah satu alat musik pukul yang bentuknya hampir mirip dengan gendang. Alat musik Tifa terbuat dari kayu yang mana pada bagian tengah kayu tersebut dibuat lubang besar yang dibersihkan. Lalu diujung salah satu kayu tersebut ditutup dengan mengunakan kulit rusa yang telah dikeringkan yang berfungsi agar alat musik Tifa ini bisa menghasilkan suara yang indah dan bagus.

Minggu, 28 Juli 2013

EAST JAVA ( Jawa Timur )

East Java (Indonesian : Jawa Timur, Javanese: Jawa Wétan) is a Province of Indonesia. It is located on the eastern part of the island of Java and includes the neighbouring islands of  Madura, and the Kangean, Sapudi, Bawean, and Masalembu groups.
Its capital is Surabaya, the second largest city in Indonesia and a major industrial center and port. It covers an area of 47,922 km2. At the 2010 Census, the province's population was 37,476,000.
It has a land border only with the province of Cenral Java to the west, being surrounded by sea on all other sides.


Suku Betawi

Suku Betawi adalah sebuah sukubangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
 
Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.

Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :
  1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
  2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
  3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
  4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi".

Sabtu, 27 Juli 2013

THE PEOPLE AND CULTURE OF KALIMANTAN

In English, the term Kalimantan refers to the Indonesian portion of the island of Borneo,while in Indonesian, the term "Kalimantan" refers to the whole island of Borneo. The Indonesian territory makes up 73 percent of the island by area, and 70 percent (12,000,000) by population. The non-Indonesian parts of Borneo are of Brunei (609,000) and East Malaysia (6,000,000). The region is also known as Indonesian Borneo. Kalimantan's total area is 582,593 square kilometres (224,940 sq mi). 

East Kalimantan

A major producer of oil and timber, East Kalimantan is at present the most industrially advanced province of the island. Its population numbers less than two million, and the density figure of seven people per kilometer is among the lowest of Indonesia, although relatively high for Kalimantan. More than 80 percent of the area, or over 17 million hectares is covered by forest.
This is where the "Black Orchid" and many other orchid varieties grow within the sheltered confines of nature reserves.
The Banjarnese and Kutainese are mostly the coastal population, living in the town and cities. The Dayak peoples form the overwhelming majority of the population of the hinterland, live in long houses called umaq daru. It is customary for one whole extended family or even one clan to occupy on long house. Each family is given a separate compartment with the chief of the clan occupying the central chamber.
Guardian statues are normally placed in front of the long house to protect it against evil spirits who bring disease and bad fortune. Such long houses, however, are gradually disappearing and many have been converted into meeting halls or stages for dance and music performances.
The Dayaks are also known for their artistry, making beautiful cloths and ornaments for their traditional houses. The Tunjung Dayaks still make a kind of cloth called doyo, which is woven from certain plant fibers and was used in the past in rituals. But now they are offered for sale to visitors. Oil and natural gas are found along the entire east coast, with refineries centered at Balikpapan and Bontang.


West Kalimantan
West Kalimantan is easily accessible from Jakarta or Singapore by air. One of its main attractions is the culture of its Dayak ethnic groups. Most Dayaks live in long houses along rivers which crisscross the province. The province covers an area of 146.807 square km. Its low plains are swampy with more than 100 rivers playing a vital role in communications and the economy. Scattered across the swamps are several lakes and villages, often linked by bridges. The provincial capital, Pontianak lies exactly on the Equator. It is a fast growing city divided into three parts by the Kapuas and Landak rivers. Pontianak is the main gate to enter this province through Supadio Airport, 18 km from the city. The Kapuas river, about 1.143 km, is the longest river in Indonesia, connecting Pontianak with the Sanggau, Sintang and Kapuas Hulu Regencies. Among the branches of the Kapuas river are the Landak, Kubu, Punggur, Melawi, and Sekayam rivers.
The population of West Kalimantan consist of the Dayaks, Malays, Chinese and some other Indonesian ethnic groups. Dayak dances express respect, heroism, welcome and cure. It is recommended to take a river trip and make overnight stops at villages where dance performances are organized on advance notice.


South Kalimantan
South Kalimantan is one of the 27 provinces in Indonesia and is one of the 4 provinces in Kalimantan (formerly called Borneo).
South Kalimantan is often called the Province of the a Thousand Rivers. One is Barito river, the largest and the longest river in Indonesia which is more than 6,000 km long.
One of its tributary rivers is the Martapura river, which in turn has two tributary rivers of its own, the Riam Kanan and Riam Kiwa rivers. Barito connects with the Negara rivers which branches out in to lesser rivers.
Other important river are Maluku, Tabanio, Sawangan, Asam-Asam, Jorong, Kintap, Satui, Sebamban, Kusan, Batulicin, Sampahan, and Cengal. All these rivers run right from Meratus range and go the out to the Java sea, Maccasar Straits and the Selat Sea.
In 1990 the total population of South Kalimantan was 2.463.792 with a growth rate of about 1.8% annually, 54% of the population earn their living from agricultural, 15% from public services, 13% from the commercial sector and the rest from industry, transport, construction and so on. The minority consists of some Javanese, Maduranese, Banjau, Bugenese, Chinese and Arabs.
The culture and traditions are the assimilation through ages of the indigenous Dayaks, Malays, and Javanese. Then came the influence of Islam which was introduced by Arab and Persians traders. These can be seen from the people's way of life, especially in arts, such as dance, music, tradition dress, games and ceremonies. Handicraft are made from local raw materials. Jewelries made of precious and semi-precious stones are mostly made and sold in Martapura. Rattan and bamboo weaving are from the Tapin district, handicraft made of gold, silver, brass and iron are from the Hulu Sungai Selatan region.Sasirangan is a specific textile design where its specialty of South Kalimantan. The design and method are different from those of other parts of Indonesia. Local fruits are among others : durian, rambutan, pineapple, watermelon, bananas, and kesturi (sweet small manggo).
Kesturi is one of the rare mango species in South Kalimantan. It is a seasonal fruit, available once a year only. It's a small size mango, very sweet, with a specific aroma. Durian, rambutan, butter fruit, pineapple, watermelon, banana, all grow well in the region.
High rate of rainfall and adequate sunshine have made South Kalimantan fertile. Extensive forests with a large variety of tress make South Kalimantan one among the large wood producers in Indonesia. The region is wellknown for its ironwood, meranti, pinus and rubber.
South Kalimantan is connected with cities all over Indonesia through Syamsuddin Noor airport which is 25 km from Banjarmasin. This airport can serve DC-9's and lesser aircraft. Airlines serving Banjarmasin are Merpati Nusantara, Bouraq, Sempati and Dirgantara Air Service. About 66 are routine flights per day. South Kalimantan can also be reached through seaport of Trisakti and Banjarmasin harbour. To towns in Kalimantan there are plenty of good roads. If waterways are preferable, go by boat along large rivers which go to almost every direction.


Central Kalimantan
Since the eighteenth century, the central region of Kalimantan and its Dayak inhabitants were ruled by the Muslim Sultanate of Banjar. Following Indonesian independence after World War II, Dayak tribes demanded a province separate from South Kalimantan province.
In 1957, South Kalimantan was thus divided to provide the Dayak population greater autonomy from the Muslim population in that province. It was approved by the Indonesian Government on 23 May 1957 under Presidential Law No. 10 Year 1957, which declared Central Kalimantan the seventeenth province of Indonesia. President Sukarno appointed the Dayak-born national hero Tjilik Riwut as the first Governor and Palangka Raya the provincial capital.
The three major Dayak tribes in Central Kalimantan are the Ngaju, Ot Danum and Dusun Ma'anyan Ot Siang. The three major tribes extended into several branches of prominent Dayak tribes in Central Kalimantan such as Lawangan, Taboyan, Dusun Siang, Boyan, Bantian, Dohoi and Kodorin.
In addition to the indigenous Dayak tribes, the province also groups from other areas of Indonesia, including Javanese, Maduranese, Batak, Toraja, Ambonese, Bugis, Palembang, Minang, Banjarese, Makassar, Papuan, Balinese, Acehnese and also Chinese
 
 
 

Kebudayaan dan Adat Istiadat Sunda

Suku Sunda adalah suatu suku etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa,
Indonesia, dari Ujung Kulon yang berada di ujung barat pulau Jawa sampai sebagian
Jawa Tengah. Suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat.
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan
bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Maka dari itu saya akan mendeskripsikan kebudayaan tersebut.

1.     SISTEM KEPERCAYAAN


Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta.Keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong).Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah cerita Lutung Kasarung,
salah satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal yang menitiskan sebagian kecil diriNya ke dalam dunia untuk memelihara kehidupan manusia. Dan ini mungkin bisa menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan kabar baik kepada mereka.


2.     MATA PENCAHARIAN

Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atau
hidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Maka dari itu mereka semua hidup bersama-sama terus menerus sampai seterusnya. Tetapi ada pula yang mengajak sanak keuarganya untuk pergi bersama-sama ke kota besar tempat dia tinggal.




3.     KESENIAN

Sisingaan adalah suatu jenis kesenian tradisional atau seni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam bentuk hajatan. Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-acara khusus seperti, menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT Kemerdekaan RI dan kegiatan hari- hari besar lainnya.
Dan tarian tradisional suku sunda adalah jaipong, tari jaipong biasanya di adakan pada acara-acara pernikahan atau acara-acara besar yang di adakan oleh pemeritahan. Tarian ini sangat disukai oleh masyarakat sunda apalagi kaum pria dewasa.

Kebudayaan di Bali

Adat istiadat di Bali merupakan warisan dari leluhur yang memiliki nilai luhur dan adi luhung. Bali memiliki adat dan kebudayaan yang beraneka ragam yang di miliki masing-masing wilayah. Istilah adat bagi orang Bali, bukanlah hal yang baru, Semua orang Bali mengerti betul dengan hal tersebut. Disetiap desa adat yang ada di Bali memiliki beberapa perbedaan dengan adat antara satu desa adat dengan yang lainnya, walaupun secara keseluruhan memiliki persaamaan. Setiap desa adat memiliki awig-awig atau tata tertib masyarakat setempat, dan setiap awig-awig ini tentunya ada hak, kewajiban dan saksi hukum adat yang harus dipatuhi oleh semua warganya, tentunya apa yang berlaku tidak lepas dari ajaran Agama Hindu, sosial budaya dan berbagai aspek kehidupan.

 
Adat bukan suatu aturan yang tertulis, tetapi merupakan penerapan ajaran agama yang dianut. Adat berarti kebiasaan, sebelum istilah adat ini masuk ke Bali, masyarakat Bali sudah mengenal adat dan kebiasaan ini dengan istilah dresta, lokacara ataupun sima. Itu menandakan masyarakat Bali paham bahwa semua kebiasaan dimasyarakat baik itu dalam tatanan upacara agama, awig-awig atau adat istiadat di suatu tempat berdasarkan dresta ataupun sima atau sering orang mengatakan desa mawicara, sehingga tidak timbul penafsiran yang berbeda-beda.


Banyak adat istiadat yang ada di Bali, seperti;  upacara nyepi di Bali, sehari penuh masyarakat di Bali tidak boleh keluar rumah, melakukan aktifitas dan menyalakan lampu untuk melakukan tapa brata penyepian. Upacara ngaben, setiap orang yang meninggal akan dibuatkan upacara ngaben, beberapa tempat dalam tata cara pelaksanaan upacara ini berbeda-beda sesuai dresta ditempat tersebut. Menjelang hari Raya Galungan di Bali, penjor-penjor berjejer di pinggir jalan, hampir semua masyarakat hindu Bali memasang penjor. Dalam acara adat pernikahan di Bali, lebih mengusung keagungan Tuhan daripada pesta pernikahan. Di beberapa tempat di Bali juga memiliki kegiatan upacara adat  dan tradisi unik yang tidak dimiliki oleh desa adat yang lain. Sebagai daerah wisata, ini tentu merupakan hal yang menarik bagi wisatawan yang sedang liburan dan melakukan perjalanan tour di Bali.